Seiring kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perawatan tubuh, kebutuhan akan perawatan kulit semakin meningkat. Namun, produsen seringkali memasarkan produk perawatan kulitnya dengan klaim yang berlebihan, misalnya dengan menjanjikan hasil instan, seperti “memutihkan kulit dalam tujuh hari” atau “jerawat hilang permanen dalam tiga hari”.
Menurut dr. Listya Paramita, Sp.D.V.E., FINSDV, salah satu bahaya terbesar dari klaim berlebihan itu membentuk harapan yang tidak realistis bagi konsumen. “Kadang kita sudah tahu ini kayaknya terlalu berlebihan, tapi, karena keinginan yang menggebu-gebu untuk (kulit menjadi) cepat cerah, kita abaikan keraguannya,” katanya dalam program Siaran Sehat di Radio Kesehatan pada Senin, 28 Oktober 2024. Hal ini, kata dia, membuat banyak orang terlena dan mengabaikan aspek keamanan produk dan legalitasnya.
Tidak semua produk dengan klaim berlebihan berbahaya, terutama jika sudah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Kalau produknya legal dan aman, paling-paling efek yang dijanjikan tidak muncul,” kata Listya. Namun, masalah serius muncul bila produk tersebut ilegal dan mengandung bahan berbahaya, seperti merkuri atau steroid.
Saat ini, produk pemutih kulit telah menjadi primadona. “Nah, ini sebenarnya pekerjaan rumah kita bersama karena skincare yang paling banyak dicari masih yang menjanjikan bisa bikin putih,” kata Listya. Padahal, dia menjelaskan, warna kulit setiap individu sebenarnya sudah “terprogram” secara alami oleh faktor genetik.
Warna kulit manusia sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan leluhur yang berbeda-beda, sehingga setiap individu memiliki warna yang unik. “Kita semua paham bahwa warna kulit itu sudah ada pengaturannya, sudah ada pengkodenya sesuai dengan genetik kita,” ujar Listya.
Listya menjelaskan bahwa secara ilmiah warna kulit diklasifikasikan berdasarkan Skala Fitzpatrick, yang dikembangkan pada tahun 1975 oleh Thomas B. Fitzpatrick, dokter kulit Amerika Serikat. Dalam skala itu, warna kulit dibagi dalam enam tipe, dari tipe 1 yang warnanya paling terang seperti bulai hingga tipe 6 yang paling gelap seperti hitam jangat.
Tidak ada warna kulit yang lebih baik atau lebih buruk karena semua tipe memiliki keindahan dan keunikan masing-masing. “Secara keilmuan, perbedaan warna kulit itu memang normal dan tidak ada masalah sama sekali,” kata Listya. Karena itu, kata dia, masyarakat perlu didorong untuk menghargai keragaman warna kulit sekaligus memilih produk perawatan kulit yang sehat dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing tanpa terjebak pada standar kecantikan tertentu.
Menurut Listya, Peraturan Kepala BPOM Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengawasan Iklan Kosmetik telah mengatur bagaimana iklan kosmetik dapat dilakukan, termasuk bahasa apa saja yang boleh digunakan, untuk menjamin transparansi dan keamanan bagi konsumen. Misalnya, iklan kosmetik tidak boleh menggunakan istilah-istilah yang menyesatkan seperti “mengobati” atau “menyembuhkan” karena dia tidak dirancang sebagai obat. “Skincare itu untuk perawatan kulit, bukan untuk menyembuhkan atau mengobati. Menggunakan istilah seperti itu akan menimbulkan asumsi bahwa produk tersebut memiliki kekuatan seperti obat, padahal fungsinya hanya untuk memperbaiki kondisi kulit.”
Namun, tantangan besar muncul dari produk-produk ilegal yang beredar di pasaran. Produk-produk ini seringkali menggunakan klaim bombastis yang menggiurkan tetapi sebenarnya mengandung bahan berbahaya seperti merkuri atau steroid. "Merkuri itu bahan yang jelas dilarang tetapi masih banyak ditemukan, bahkan di lokapasar atau media sosial,” kata Listya.
Menurut Listya, langkah pertama yang dapat dilakukan konsumen adalah mengecek produk kosmetik itu. “Kalau ternyata ada produk yang enggak ada notifikasi BPOM, langsung buang saja. Misalnya, produk yang cuma dikemas dalam botol polos tanpa nomor BPOM atau keterangan bahan aktifnya. Itu jelas berbahaya.”
Jika telanjur menggunakan dan mulai mengalami efek samping, seperti kulit menjadi kemerahan atau iritasi, langkah yang harus dilakukan adalah menghentikan pemakaiannya dan membuang produk tersebut. “Kalau kulit sudah seperti merah udang rebus, itu sudah tanda ada efek samping. Hentikan pemakaian, buang produknya, dan segera konsultasi ke dokter untuk mengobati efek yang timbul,” kata Listya.
Listya mengingatkan konsumen perlu memakai produk sesuai dengan kebutuhan kulit masing-masing. “Kebutuhan kulit setiap orang itu berbeda. Jangan asal ikut-ikutan tren tanpa memahami apa yang sebenarnya diperlukan oleh kulit,” kata dia.
Selain itu, “Kulit kita enggak cuma butuh nutrisi dari luar, tapi juga dari dalam,” kata Listya. “Konsumsi makanan sehat, atur pola tidur, dan hindari begadang. Katanya mau kulit glowing, tapi tidur malam terus, ya enggak bisa."
Sumber: Tim Redaksi Mediakom