Kondisi cuaca yang tidak menentu belakangan ini—yang terkadang panas terik di siang hari, kemudian hujan pada sore atau malam hari—merupakan kondisi yang bisa menjadi penyebab turunnya daya tahan tubuh. Di sisi lain, siklus cuaca yang tak menentu ini justru digemari oleh nyamuk Aedes aegypti karena memudahkan mereka untuk berkembang biak.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam subspesialis penyakit tropis dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUP), dr. Ifael Yerosias Mauleti, Sp. P. D., (K.), FINASIM., dua kondisi ini memang mendukung untuk memicu timbulnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) di masyarakat. “Seseorang bisa kena infeksi, khususnya demam berdarah, pertama karena daya tahannya turun, imunnya turun sehingga dia bisa terinfeksi. Yang kedua, ada virus yang masuk ke badannya, dalam hal ini virus demam berdarah dengue yang dibawa oleh nyamuk,” kata Ifael kepada Mediakom pada Selasa, 7 Mei 2024.
Penjelasan Ifael itu sesuai dengan laju angka kasus DBD yang terjadi di Indonesia yang menunjukkan peningkatan belakangan ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada awal bulan April terdapat 60.296 kasus demam berdarah dengan angka kematian mencapai 455 kasus dan sebelumnya, pada akhir Maret, jumlahnya mencapai 53.131 kasus dengan 404 kematian.
Menurut Ifael, setiap orang bisa terkena penyakit DBD bila daya tahan tubuhnya lemah. Namun, jika dilihat dari faktor adanya virus, maka orang-orang yang sering beraktivitas di luar rumah lebih rentan terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti, sedangkan orang yang lebih banyak di dalam rumah cenderung terlindungi, baik karena ada kawat nyamuk maupun dengan menggunakan obat antinyamuk. “Nyamuknya itu biasanya (beredar) dari pagi sampai sore. Kalau malam, sudah jarang. Jadi, anak-anak sekolah itu kemungkinan kenanya di sekolah,” ujar Ifael.
Ifael mengatakan, DBD terjadi selama tujuh hari dan ada sejumlah gejala awal yang dapat menjadi tanda terjangkit. Biasanya, kata dia, gejala akan diawali dengan demam, lalu diikuti oleh keluhan lain, seperti sakit kepala yang sangat berat, pegal linu atau nyeri sendi, lemas, mual dan muntah, serta pada beberapa orang juga mengalami diare. Demam berdarah biasanya tidak disertai batuk dan pilek.
Setelah muncul gejala tersebut, untuk memastikan adanya virus DBD, darah orang tersebut akan diperiksa. Di awal demam, cukup dilakukan pemeriksaan darah sederhana, yakni dengan memeriksa sel darah, sel darah putih, dan trombosit. Jika datang setelah beberapa hari demam, maka imunoglobulin atau antibodi pasien juga akan diperiksa. “Kalau sudah akhir-akhir, kami bisa cek imunoglobulinnya . Imunoglobulin-M biasanya akan muncul pada demam berdarah. Tapi, dalam (pemeriksaan) darah sederhana pun, sudah bisa prediksi bahwa orang ini DBD atau bukan,” ujar Ifael.
Ifael menambahkan, meskipun penyakitnya disebut demam berdarah namun tidak semua pasien mengalami perdarahan. Jika ada perdarahan, maka kategorinya terbagi menjadi ringan, sedang, berat. Yang masuk kategori ringan adalah perdarahan di bawah kulit. Kategori sedang bisa berupa mimisan ringan, gusi berdarah, buang air kecil berdarah, atau buang air besarnya ada darah. Adapun kategori perdarahan berat jika volume perdarahannya lebih hebat. “Tapi, sehari-hari kami dapati tidak selamanya orang mengalami perdarahan.”
Ifael memaparkan bahwa demam berdarah merupakan penyakit yang bersumber dari virus yang secara teoretis dapat sembuh dalam tujuh hari selama masuk kategori demam berdarah ringan. Bahkan, pasien dengan kategori ringan dapat tinggal di rumah dengan ketentuan harus memenuhi kebutuhan cairan 2-3 liter per hari dan setiap hari datang ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) untuk melakukan cek darah.
Pemeriksaan darah penting dilakukan setiap hari untuk mengetahui apakah kebutuhan cairan telah terpenuhi sehingga terhindar dari dehidrasi. Dampak buruk bagi pasien yang demam berdarah yang mengalami dehidrasi adalah risiko kematian. “Bagi pasien, yang penting air. Kalaupun tidak dirawat di rumah sakit, orang dewasa yang bisa minum air 2-3 liter, kondisinya bisa terjaga. Tapi, kalau tidak bisa, risikonya bisa syok. Syok itu bisa membawa kepada kematian dan tinggi angka kematiannya,” ucap Ifael.
Ifael mengatakan bahwa tidak ada obat-obatan untuk gejala awal ini. Pasien hanya perlu makan dan minum yang cukup. Pada pasien DBD, kata Ifael, pada hari pertama, kedua, dan ketiga akan mengalami demam, pegal linu, sakit kepala, mual, dan muntah. Pasien akan semakin lemas bila makanan dan terutama minumannya sangat kurang.
Hari keempat dan kelima merupakan fase kritis, ketika cairan plasma di pembuluh darah keluar. Ini adalah fase sangat rawan bagi penderita DBD tapi, sayangnya, diabaikan, khususnya pada pasien anak-anak. Ini karena, kata Ifael, pada hari keempat dan kelima demam mulai hilang dan biasanya orang tua yang anaknya dirawat di rumah menganggap si anak sudah sembuh sehingga dibiarkan untuk bermain dan kebutuhan cairannya jadi tidak terpenuhi, padahal ini merupakan fase yang harus diwaspadai agar terhindar dari kematian.
“Kalau minumnya tidak terjaga, maksudnya dia kurang minum dan dia tidak berobat sehingga tidak diinfus, dia akan syok. Kalau sudah syok, risiko kematian sudah sekitar 90 persen. Saat syok dia tidak sadar, tekanan darah turun, nadinya turun,” tutur Ifael.
Ifael menjelaskan, syok pada pasien DBD tidak ada hubungannya dengan turunnya trombosit karena syok berkaitan dengan kekurangan cairan. Menurut dia, trombosit tidak menjadi tolak ukur dokter spesialis penyakit dalam subspesialis penyakit tropik dalam mendiagnosis kondisi pasien DBD. Adapun penurunan trombosit pada hari pertama hingga keenam merupakan hal yang memang umum terjadi pada pasien DBD. “Trombosit itu tidak menakutkan. Yang kami khawatir itu dehidrasi. Kami lihat dari hematokrit. Kalau kami lihat hematokrit semakin naik, kami degdegan. Tapi, kalau trombosit turun (tidak khawatir),” kata dia. Hematokrit adalah pemeriksaan untuk mengukur jumlah sel darah merah dari total seluruh volume darah.
Ifael menyatakan bahwa pasien DBD dikatakan sembuh jika sudah melalui beberapa fase, yakni sudah menjalani perawatan penyakit ini selama tujuh hari, sudah tidak demam, makan dan minum sudah enak serta tidak ada lagi mual dan muntah. Jika hal tersebut sudah terlihat, pasien akan diperiksa kadar trombositnya. Jika hasil pemeriksaan menunjukan trombosit sudah mulai naik, berapa pun itu, maka bisa dikatakan pasien sudah sembuh dan boleh tidak dirawat lagi.
Soal kadar trombosit ini, menurut Ifael, kebijakan setiap rumah sakit berbeda-beda. Ada rumah sakit yang menyatakan 50 ribu dulu baru boleh pulang. Ada yang 70 ribu dulu baru bisa pulang. Meskipun demikian, Ifael melanjutkan, angka 50 ribu atau 70 ribu itu termasuk belum normal karena normalnya 150 ribu. Tapi, pasien sudah boleh di rumah asal sudah tujuh hari dirawat dan keluhan seperti demam dan mual-muntah telah hilang. Pada pasien dengan penyakit penyerta, mereka bisa dirawat lebih dari tujuh hari.
“Kadang ada pasien DBD sudah sembuh tapi sakit maag belum sembuh, makan-minum belum benar, itu belum bisa kami pulangkan. Atau ada yang terkena diabetes, gula darahnya belum stabil, atau pada hipertensi tekanan darahnya masih tinggi, mereka masih harus dirawat dulu meski DBD-nya sudah sembuh,” kata Ifael.
Ifael menambahkan bahwa virus DBD punya empat subtipe sehingga apabila telah terkena subtipe 1, maka kemudian orang hanya kebal untuk jenis itu. Begitu juga jika kena subtipe lainnya, maka orang hanya kebal untuk subtipe tersebut seumur hidup. Sehingga, dalam satu siklus kehidupan, kemungkinan orang bisa terkena penyakit DBD sampai empat kali karena terdapat empat jenis subtipe. Masyarakat dapat mencegahnya antara lain dengan senantiasa menjaga daya tahan tubuh dengan makan dengan gizi seimbang secara teratur. “Untuk mencegahnya, tingkatkan daya tahan tubuh, lindungi tubuh dari gigitan nyamuk, dan berantas sumber nyamuk.”
Sumber: Sehat Negerikut, Tim Mediakom