Saat anak memasuki fase makanan pendamping air susu ibu (MPASI), tentu banyak sekali yang harus diperhatikan oleh orang tua. Salah satunya adalah tantangan cara memberikan makan yang tepat kepada anak. “Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemberian makan kepada bayi harus mengikuti kaidah responsive feeding, yaitu memberikan MPASI kepada anak dengan memperhatikan 5W+1H (what, when, where, why, who, how),” kata dokter Reisa Broto Asmoro dalam Siaran Sehat di Radio Kesehatan pada Senin, 29 Januari 2024.
Menurut kaidah tersebut, orang tua harus memperhatikan betul bagaimana anak merespons setiap makanan yang ia makan karena hal tersebut merupakan proses belajar yang sangat penting. Dalam metode ini, tidak ada paksaan terhadap anak dalam menerima MPASI. Sebaliknya, orang tua wajib belajar mengenali isyarat lapar dan kenyang pada anak sehingga bisa bertindak sesuai dengan isyarat tersebut. Anak akan makan sesuai keinginan dan kebutuhan fisiologis dan terhindar dari over feeding atau makan berlebih yang dapat menyebabkan obesitas.
Dokter Reisa menyampaikan bahwa responsive feeding dapat melatih pola makan anak. Nafsu makan anak yang terlatih akan membuat berat badan dan tumbuh kembang anak menjadi baik dan sehat. Tidak hanya itu, anak juga dapat terlatih dari segi disiplin waktu. Anak akan lebih menghargai makanan dan mengetahui kapan dia harus makan. Pemberian makan sesuai jadwal akan membuat anak mengenali kapan muncul rasa lapar dan keinginan untuk makan.
Pada saat anak memasuki usia enam bulan, orang tua harus menyuapi anak secara langsung dengan rasa senang. Dengan begitu, anak akan membuka mulutnya dan merespons makanan dengan baik saat sendok makan mendekati mulutnya. “Kalau anak dicekoki, pasti akan menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan dan anak akan mengalihkan makanannya sehingga makanan yang ia makan menjadi sebuah pengalaman yang tidak mengenakkan untuk dia,” ujar Reisa.
Pemberian makan secara paksa akan menimbulkan trauma pada anak. Hal ini dapat memberikan efek jangka Panjang pada tumbuh kembang anak sampai dewasa nanti. Apabila si kecil menolak, orang tua harus memperhatikan betul kondisi anak. Penolakan terjadi biasanya karena kondisi tertentu, seperti jarak waktu makan camilan dan menyusu terlalu dekat, mengantuk, suasana hati tidak baik, popok yang penuh, atau gigi sedang tumbuh.
Menurut Reisa, memaksa anak makan yang tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya itu sama saja dengan mengabaikan naluri alamiah untuk makan atau berhenti makan. “Di sinilah peran orang tua, yang harus peka terhadap kebutuhan si kecil. Apalagi dia (anak) belum bisa bicara. Jadi, kita harus memeriksa berbagai kemungkinan yang menyebabkan si anak menolak dan enggak mau makan,” kata dia.
Selain itu, alternatif variasi menu, rasa, tekstur, hingga peralatan yang dipakai dapat mempengaruhi proses responsive feeding. Meski masih kecil, rasa bosan juga dapat muncul pada anak lantaran konsumsi menu makanan yang sama. Orang tua dapat memberikan variasi rasa pada makanan. Dalam hal ini, penggunaan gula dan garam diperbolehkan selama tidak berlebihan.
Hal lain yang penting dalam metode responsive feeding adalah distraksi. Saat anak terdistraksi, ia tidak akan mengenal rasa kenyang sehingga dapat makan berlebihan. Usahakan anak makan dalam kondisi duduk tanpa adanya distraksi apa pun, seperti gawai dan lainnya. Kebiasaan makan sambil duduk dapat melatih kedisiplinan. Terkadang orang tua suka memberi makan anak dengan menggendong bayi sambil jalan- jalan. Kondisi ini justru bisa menjadi distraksi sehingga anak tidak terfokus terhadap proses makan dan teralih ke hal lain.
Ada beberapa cara agar orang tua dapat mengenali isyarat anak. Ketika anak lapar, umumnya mereka akan merengek, berkeringat, mudah menangis, atau memasukkan tangan atau jarinya ke dalam mulut. Bagi ibu yang masih menyusui, isyarat dapat dilihat saat anak menunjukkan tanda- tanda rutin, seperti kondisi bagaimana saat anak kenyang minum ASI. Apabila anak menunjukkan perilaku menggeser- geser atau menjauhi makanannya atau sendoknya, hal itu bisa menjadi salah satu pertanda bahwa anak sudah kenyang. Jadi, responsive feeding ini harus benar-benar merespons petunjuk apa yang anak berikan supaya orang tua juga harus lebih bisa mengerti dan memahami petunjuk dari bayi.
Metode responsive feeding sangat berkaitan erat dengan status gizi anak. Kalau gizi anak baik, maka Kesehatan tubuhnya tentu akan terjaga dan pertumbuhan tubuhnya normal.
Selain mengamati tanda-tanda siap makan, orang tua juga harus memperhatikan komponen bahan makanan yang digunakan untuk MPASI. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, nutrien yang paling tidak terpenuhi setelah anak usia enam bulan adalah zat besi. Maka, usahakanlah pilihan utama menu MPASI adalah sumber nutrisi tersebut.
“Pemberian protein hewani dan nabati sudah bisa diberikan sejak si kecil berusia enam bulan. Kalau mau memberikan protein hewani, seperti daging, telur, dan ikan, harus dipastikan menu protein hewannya sudah dalam keadaan yang benar-benar matang dan punya tekstur yang halus,” ujar Reisa.
Pembuatan makanan dengan tekstur yang tepat juga tidak membuat anak merasa kesulitan untuk memproses makanan. Dokter Reisa menyarankan menu MPASI paling baik dibuat secara sendiri. Dengan demikian, orang tua bisa memperhatikan betul soal jenis, rasa, dan teksturnya.
Variasi pada makanan juga sangat dibutuhkan. Orang tua harus memenuhi kebutuhan energi, protein, dan berbagai mikro nutrien yang dibutuhkan anak. Usahakan pilih makanan dengan menu yang variatif, seperti makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak yang sebagai sumber energi. Selain itu, makanan juga harus mengandung protein hewani dan nabati serta vitamin dan mineral yang baik untuk anak.
Yang terakhir, kata Reisa, pastikan semua peralatan yang dipakai untuk mengelola dan menyajikan MPASI dalam keadaan bersih. Ini termasuk hal sepele seperti talenan. Dia menyarankan agar orang tua memisahkan talenan untuk sayur dan buah dengan daging-dagingan. Hal ini diperlukan agar tidak ada mikroba-mikroba yang masuk ke dalam MPASI.