Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukan jumlah penderita diabetes di dunia pada tahun 2021 mencapai 537 juta. Angka ini diprediksi akan terus meningkat mencapai 643 juta di tahun 2030 dan 783 juta pada tahun 2045. Menurut IDF, Indonesia menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah diabetes terbanyak dengan 19,5 juta penderita di tahun 2021 dan diprediksi akan menjadi 28,6 juta pada 2045. Persoalan ini menjadi perhatian dari Kementerian Kesehatan, mengingat diabetes melitus merupakan ibu dari segala penyakit. Seperti ibu yang melahirkan banyak anak, diabetes dapat “melahirkan” berbagai penyakit lain.
“Diabetes itu adalah mother of all diseases. Kalau tidak terkontrol, dia bisa terkena penyakit jantung, stroke, ginjal yang akan lebih berat lagi masalahnya, akan lebih berat lagi biayanya,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Dr. Eva Susanti, S. Kp., M. Kes., kepada Mediakom pada Kamis, 14 Desember lalu.
Eva mengatakan, risiko seseorang terkena diabetes dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti gaya hidup, riwayat keluarga yang memiliki diabetes, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi gula yang tinggi secara terus-menerus. Tingginya konsumsi gula yang tidak diimbangi dengan aktivitas fisik, sebut Eva, akan menyebabkan terjadinya resistensi insulin sehingga meningkatkan risiko terkena diabetes.
Pada tahun 2013, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Peraturan tersebut bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui informasi nilai gizi yang terkandung di makanan dan minuman yang dituliskan dalam label makanan. Dengan begitu, masyarakat dapat mengetahui jumlah gula, garam, dan lemak yang telah akan dikonsumsi sehingga dapat menghindari faktor risiko terkena penyakit tidak menular. “Karena gula, garam, dan lemak berlebihan dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular, termasuk obesitas, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit kardiovaskular,” ujar Eva.
Eva menambahkan bahwa pertumbuhan gerai makanan cepat saji di Indonesia sangat cepat. Ini disertai dengan kemudahan untuk memperoleh makanan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi belakangan ini, yang telah menjadi tren, khususnya di kalangan anak muda. Padahal, makanan cepat saji tersebut umumnya termasuk kategori junk food, yakni makanan yang hanya mengandung sedikit serat, sementara gula, garam, dan kandungan lemaknya tinggi.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan tengah berupaya agar setiap gerai pangan siap saji nantinya diminta untuk mencantumkan nilai gizi pada setiap porsi hidangan yang ditawarkan sebagai upaya mencegah masyarakat mengonsumsi gula garam dan lemak berlebih. “Rencana itu akan kita masukan di rancangan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-Undang Kesehatan. Nantinya, kita akan mencoba di gerai-gerai yang sudah terdaftar dulu, misalnya untuk yang sudah punya 200 gerai, supaya lebih mudah. Nanti juga kita akan atur porsinya,” kata Eva.
Menurut Eva, pajanan makanan yang beraneka ragam tanpa pencantuman nilai gizi, khususnya terkait kandungan gula, perlu diatur dengan tegas. Karena, mengonsumsi gula berlebih dapat berisiko menyebabkan obesitas sehingga terjadi penumpukan lemak ektopik di dalam otot yang bisa menimbulkan resistensi insulin yang akhirnya menjadi diabetes melitus tipe 2.
“Undang-undang atau regulasi yang mengatur kandungan dalam makanan dan minuman ini diharapkan memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi untuk mengurangi konsumsi yang tidak sehat dan menurunkan kematian akibat penyakit tidak menular,” tutur Eva.
Sumber: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240110/5344736/saatnya-mengatur-si-manis/