Lasik atau laser-assisted in situ keratomileusis adalah tindakan operasi untuk mengubah bentuk selaput bening mata dengan mengikisnya dengan menggunakan bantuan sinar laser. Dengan begitu, kemampuan kornea atau selaput bening dalam merefraksikan sinar menjadi berubah dan mengurangi kondisi minus, plus, atau silindris.
Umumnya lasik dilakukan kepada pasien yang ingin membebaskan dirinya dari ketergantungan alat bantu seperti kacamata atau lensa kontak. Selain itu, alasan yang paling sering disampaikan adalah bahwa pasien ingin mendaftarkan dirinya ke sekolah kedinasan atau mendaftar pekerjaan dengan syarat tertentu.
Menurut dokter spesialis mata dari Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, dr. Andrew M. Knoch, Sp.M.(K.), M.Kes., sekitar 60-70 persen alasan orang Indonesia memilih tindakan lasik adalah karena ingin mendaftar masuk kedinasan. Sementara itu, untuk kebutuhan gaya hidup atau kenyamanan aktivitas sehari-hari masih sekitar 40 persen. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara yang lebih maju.
Andrew menjelaskan bahwa saat orang melihat suatu objek, sinar dari objek itu harus masuk ke mata dan fokus di retina dengan melalui beberapa jaringan. Terdapat dua jaringan utama yang dilewati oleh sinar, yaitu kornea atau selaput bening yang terletak di bagian paling depan mata dan lensa mata yang ada di dalam. Selain diteruskan, sinar itu juga akan mengalami pembiasan atau direfraksikan.
Pada orang normal, sinar akan dibelokkan dan fokusnya jatuh tepat di retina, sedangkan bagi orang dengan kelainan refraksi, fokus sinar jatuh di depan atau belakang retina. Inilah yang disebut rabun dekat, yaitu sinar yang difokuskan jatuh di depan retina, atau rabun jauh, yaitu sinar yang difokuskan jatuh di belakang retina.
Faktor penyebab kelainan refraksi ini bermacam-macam. “Tapi, faktor yang paling utama adalah genetik. Pada fisik kita itu ada materi genetis dari orang tua, termasuk bentuk mata, yang berpengaruh terhadap status refraksi mata,” kata Andrew dalam Talkshow Keluarga Sehat di Radio Kesehatan pada 18 Agustus lalu.
Pada umumnya, kata Andrew, bentuk mata orang yang rabun jauh, yang dikoreksi dengan lensa minus, lebih panjang dari ukuran orang normal. Sebaliknya, orang yang rabun dekat, yang dikoreksi dengan lensa plus, sumbu bola matanya biasanya lebih pendek dari kondisi normal.
Faktor lain dari kelainan refraksi yang mencuat belakangan ini adalah ketika di masa pandemi COVID-19, semua aktivitas masyarakat banyak terpapar dengan layar, baik itu komputer, laptop, telepon genggam, dan tablet. Saat ini, screen time atau masa paparan layar memang sulit dipisahkan dari kegiatan sehari-hari. Untuk itu, Andrew menganjurkan rumus 20:20:20, yakni setiap 20 menit melihat layar, seseorang sebaiknya beristirahat dengan cara mengalihkan pandangan ke objek yang jauh minimal 20 kaki atau enam meter selama 20 detik.
Kacamata banyak digunakan oleh pasien dengan kelainan refraksi. Penggunaan kacamata relatif lebih murah karena hanya butuh bingkai dan lensa yang setiap tahun tidak perlu diganti. Selain itu, bagi beberapa orang kacamata dapat menjadi penunjang gaya hidup.
Sayangnya, kata Andrew, pada beberapa kondisi kacamata tidak dapat menjadi pilihan. Misalnya, pasien dengan ukuran koreksi yang besar harus memakai kacamata yang lensanya tebal dan membuat tidak nyaman. Pasien dengan hobi tertentu, seperti snorkling atau menyelam, juga sulit memakai kacamata. Alternatifnya, pasien dapat menggunakan alat bantu lain seperti lensa kontak. “Tapi, itu juga bukan solusi kalau hobi pasien berhubungan dengan air karena lensa kontak tidak disarankan untuk kegiatan dalam air,” kata Andrew.
Meski penggunaan lensa kontak tidak merubah penampilan, kata Andrew, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penggunanya. Lensa kontak akan dipakai tepat di permukaan mata, yaitu di depan dari kornea, sehingga akan banyak kontak dengan selaput bening tersebut. Untuk itu, pengguna lensa kontak harus disiplin dalam membersihkannya, baik sebelum dan sesudah pemakaian. Jika tidak, pemakaian lensa kontak dapat menimbulkan risiko iritasi, yang berpotensi infeksi. Infeksi yang terjadi dapat meninggalkan jaringan parut yang akan mempengaruhi kualitas penglihatan.
Andrew juga menyarankan agar lensa kontak tidak dipakai dalam kegiatan yang berhubungan dengan air, seperti berenang. Ia juga menyarankan maksimal pemakaian tidak lebih dari delapan jam dan tidak dipakai saat tidur.
Lasik merupakan salah satu pilihan bagi pasien yang merasa tidak nyaman menggunakan alat bantu seperti kaca mata atau lensa kontak. Sejak digunakan pada 1990-an, lasik menjadi populer di kalangan pasien yang mengalami kelainan refraksi.
Menurut Andrew, pasien yang akan melakukan tindakan lasik harus mengikuti pemeriksaan yang lengkap, mulai dari pemeriksaan status refraksi, ukuran koreksi kacamata atau lensa kontak, dan skrining. Tindakan lasik dapat dilakukan kepada pasien berusia minimal 18 tahun dengan kondisi mata sehat. Status refraksi pada pasien juga harus stabil. Artinya, dalam kurun waktu setahun terakhir tidak ada perubahan ukuran koreksi lebih dari 0,5 dioptri. “Kelainan refraksi ini umumnya didapatkan pada usia pertumbuhan atau usia sekolah dan ada kecenderungan terus berubah seiring bertambahnya usia. Perubahan status refraksi terjadi sampai umur sekitar 18 sampai 21 tahun,” ujar Andrew.
Orang yang usianya sudah mencapai 18 tahun, kata Andrew, status refraksinya relatif stabil setelah dilakukan tindakan lasik. Operasi yang dilakukan saat kondisi refraksi tidak stabil dapat membuat kelainan refraksi muncul kembali setelah operasi lasik karena masa pertumbuhan organ mata yang belum selesai.
Andrew juga menyarankan agar pengguna lensa kontak tidak menggunakannya dalam waktu minimal dua minggu untuk soflen dan empat minggu untuk hardlen sebelum dilakukan pemeriksaan dan skrining untuk lasik.
Pemeriksaan lengkap dan skrining wajib dilakukan untuk menentukan kelayakan kondisi pasien dapat dilakukan lasik atau tidak. Tujuannya untuk meminimalkan efek samping dari tindakan lasik. Menurut Andrew, tindakan lasik tidak disarankan bagi pasien berisiko tinggi, seperti kornea terlalu tipis atau kelengkungan yang terlalu ekstrem.
Andrew menuturkan bahwa efek samping dari tindakan lasik sangat ringan dan jarang terjadi. Umumnya efek samping yang ditimbulkan tidak mengganggu pasien dan akan berkurang seiring berjalannya waktu. Pascaoperasi lasik, kondisi mata pasien cenderung kering. Biasanya pasien akan diberi obat-obatan yang salah satunya adalah obat tetes mata untuk mengatasi mata kering. Tujuannya untuk lubrikasi atau membasahi permukaan mata. Kondisi lain yang dapat dirasakan pasien adalah apabila melihat titik cahaya seakan berpendar atau meluas. Ada juga pasien yang merasakan penglihatannya seperti fluktuatif.
Risiko berat yang dialami pasien pascaoperasi, kata Andrew, sangat jarang terjadi. Contohnya, setelah dilakukan lasik penglihatan pasien akan lebih buram daripada sebelum tindakan dilakukan, tapi komplikasi ini sangat jarang terjadi. Proses penyembuhan pasien juga butuh waktu singkat tapi perbaikan yang dialami setiap pasien berbeda. Ada yang butuh satu bulan, tiga bulan, atau bahkan sampai enam bulan.
Ada juga pasien setelah dilakukan lasik, kata Andrew, sudah bisa melihat meskipun belum optimal. Tapi, ada pula penglihatan yang masih seperti berkabut, tidak nyaman, ada rasa mengganjal, dan mata berair. Kondisi tidak nyaman ini biasanya terjadi sampai sekitar enam jam sesudah tindakan lasik dan akan berangsur membaik.
Menurut Andrew, tidak ada pantangan makanan setelah tindakan lasik. Ia menganjurkan pasien memperbanyak minum dan mengkonsumsi buah dan sayur yang cukup agar dapat membantu pembasahan permukaan mata yang kering pascaoperasi.
Andrew memperingatkan bahwa pasien tidak boleh menggosok mata setelah operasi. Mata juga disarankan untuk tidak terkena air dalam seminggu pertama. Penggunaan make up pada mata juga tidak diperkenankan selama 1-2 minggu setelah tindakan lasik.