Banyak kebiasaan orang yang justru berbahaya bagi kesehatan telinga dan pendengaran, seperti membersihkan lubang telinga dengan korek kuping (cotton bud) dan mendengarkan music melalui earphone dengan volume tinggi. Menurut dr. Ashadi Prasetyo, M.Sc., Sp. T.H.T.B.K.L, Subsp. N.O.(K.), dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta, cotton bud sebenarnya berfungsi bukan untuk membersihkan telinga tapi untuk mengoleskan salep pada kulit yang mengalami infeksi.
Kebanyakan orang, kata Ashadi, bila ada kotoran yang menyumbat di telinga, cenderung membersihkannya secara mandiri menggunakan korek kuping. Tindakan itu justru membuat kotoran yang berada di luar liang telinga terdorong ke dalam yang membuat sumbatan kotoran telinga semakin menumpuk.
Menurut Ashadi, telinga sebenarnya memiliki kemampuan untuk membersihkan diri sendiri di liang telinga dengan suatu lapisan minyak yang melumasi dan kemudian memberikan suasana lebih asam sehingga menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Jika liang telinga sering dikorek dengan cotton bud, lapisan tersebut akan hilang sehingga lebih berisiko mengalami infeksi.
Ashadi menuturkan bahwa gangguan pendengaran terjadi bila orang sudah mulai mendapat masalah dalam pendengaran. “Jika sudah memiliki masalah dalam pendengaran, baik di telinga bagian luar, tengah, dan dalam, seperti terjadi sumbatan kotoran telinga yang membuat daya sensor pendengaran kita menurun, maka kondisi seperti ini sudah bisa dikategorikan sebagai gangguan pendengaran” katanya dalam obrolan di Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan pada Jumat, 3 Maret 2023.
Menurut Ashadi, gangguan telinga terbagi dalam tiga segmen. Pertama, gangguan telinga kolektif, gangguan yang terjadi mulai dari liang telinga sampai telinga tengah. Kedua, gangguan pendengaran sensorial atau persarafan jika terjadi gangguan hingga menuju ke saraf pendengaran. Ketiga, hearing loss, yang bisa terjadi di bagian luar, tengah, dan dalam telinga. Gangguan yang terakhir ini berisiko tinggi hingga ketulian.
Untuk mengetahui apakah seseorang mengalami gangguan telinga, perlu diketahui gejala- gejalanya sehingga bisa ditangani sedini mungkin. Dr. R. Ena Sarikencana, Sp.T.H.T.-K.L.(K.), dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, menjelaskan bahwa saat seseorang mulai merasa berdenging pada telinga, itu sudah merupakan tanda terjadinya gangguan telinga.
Ena menuturkan bahwa kebanyakan pasien yang datang kepadanya mengalami dengungan pada telinga. Keluhan lain adalah saat berkomunikasi mereka harus meminta orang lain mengulang ucapannya yang bahkan lebih dari sekali. Gejala ini sering dianggap menyebalkan bagi orang lain dan bahkan sering dicap “budeg”, padahal bisa jadi orang tersebut mengalami gangguan pada telinga yang harus segera ditangani.
Orang yang memiliki gangguan telinga, kata Ena, juga cenderung berbicara lebih keras. Pada saat di rumah pun mereka menyetel televisi atau radio dengan volume tinggi karena mereka tidak dapat mendengar suaranya jika volumenya kecil atau sedang. Gejala gangguan pendengaran yang benar-benar sudah sampai pada tingkat cukup parah, kata dia, adalah keluarnya cairan dari telinga.
Ena juga menjelaskan faktor risiko orang dengan gangguan pendengaran yang dapat diketahui dengan melakukan skrining, baik untuk bayi, anak-anak, maupun orang dewasa. Untuk bayi, skrining pendengaran dibagi menjadi dua, yaitu universal dan targeted. Untuk yang universal, semua bayi yang lahir sehat maupun sakit akan dicek menggunakan alat OAE dengan menempelkannya pada telinga dan melihat gelombangnya untuk memastikan respons telinga bayi tersebut. Adapun skrining targeted dilakukan terhadap bayi-bayi tertentu dengan risiko pendengaran, seperti bayi yang lahir prematur.
Untuk menjaga kesehatan telinga sebetulnya tidaklah sulit tapi butuh kedisiplinan dan komitmen. Ashadi menyarankan orang, misalnya, tidak membersihkan telinga dengan cotton bud dan tidak menggaruk telinga jika merasa gatal, terutama menggunakan kuku atau benda asing lainnya. Tindakan itu berisiko menimbulkan luka dan menambah bakteri dari kuku maupun benda asing lainnya.
Ashadi juga mengimbau orang untuk mengatur volume saat menggunakan earphone. “Bagi yang bekerja menggunakan earphone, volume maksimal sebaiknya 60 persen dan setiap 60 menit sekali earphone dilepas agar telinga dapat beristirahat,” ujarnya.
Ashadi juga menyoroti kebiasaan anak-anak yang tertidur dengan earphone masih menempel di telinga yang membuat penggunaan earphone lebih dari dua jam dan berisiko tertekan pada bantal tanpa sadar. Kebiasaan tersebut dapat meningkatkan resiko terkena gangguan pendengaran pada usia dini yang akan berefek pada tumbuh kembang anak. Jadi, kata dia, sebaiknya anak jangan menggunakan earphone saat tidur atau sambil tiduran.
Kesehatan telinga juga perlu diperiksa secara rutin. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Indonesia, Jenny Bashiruddin, mengatakan bahwa pemeriksaan umum, terutama untuk membersihkan kotoran telinga yang tergolong biasa, bisa dilakukan enam bulan sekali. Namun, jika serumen, kelenjar yang akan menghasilkan kotoran di sepertiga lubang telinga, mengeras, maka pemeriksaan sebaiknya dilakukan tiga-empat bulan sekali.
Menurut Jenny, kotoran dari kelenjar serumen sebenarnya bisa keluar sendiri tapi tidak boleh dibersihkan sendiri dengan cotton bud karena dapat merusak telinga. Pembersihan harus oleh dokter atau petugas kesehatan. Jenni juga merekomendasikan agar pegawai yang tempat kerjanya bising dengan volume suara melebihi 85 desibel memeriksakan pendengarannya setahun sekali. Adapun untuk yang bekerja di tempat yang tidak terlalu bising, pemeriksaan dapat dilakukan dua atau tiga tahun sekali.
Kesehatan pendengaran menjadi salah satu yang disoroti Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut WHO, lebih dari 1,5 miliar orang di seluruh dunia punya masalah gangguan pendengaran dan pasien dengan gangguan telinga diprediksi mencapai 2,5 miliar pada 2050. Data Kementerian Kesehatan pada 2013 dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 2016 mencatat prevalensi ketulian di Indonesia mencapai 0,09 persen dan gangguan pendengaran secara nasional sebesar 2,6 persen.