Depresi tidak hanya mengancam generasi muda, seperti remaja dan dewasa muda, tetapi juga orang lanjut usia (lansia). Saat sudah memasuki usia lanjut, banyak sekali perubahan hidup yang terjadi pada mereka, baik secara fisik, sosial, maupun mental. Banyaknya perubahan ini tentu butuh penyesuaian sehingga tak jarang membuat mereka mengalami stres hingga depresi.
Menurut dr. Ukuh Tri Anjarsari, Sp.K.J, dokter spesialis kesehatan jiwa di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta, depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang terjadi ketika perubahan suasana hati secara ekstrem, biasanya berbentuk kesedihan. Agar seseorang bisa disebut mengalami depresi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, seperti hati secara berubah ekstrem selama dua pekan, hilangnya minat pada hobi atau kegiatan yang disukai, tidak berenergi, mudah lelah, kurang percaya diri, perubahan pola makan dan tidur, serta perasaan bersalah berlebihan. Depresi membuat kualitas hidup seseorang akan jauh menurun dan bahkan dapat mengancam nyawa melalui keinginan untuk bunuh diri atau penyakit kronis seperti hipertensi dan stroke.
Dalam acara bincang-bincang di program Talk Show Keluarga Sehat di Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan pada Senin, 29 Mei 2023, Ukuh menjelaskan bahwa depresi pada lansia berbeda dengan yang dialami oleh generasi muda. Hal itu karena ia punya karakter sendiri dan gejalanya tidak khas, sangat berbeda dengan gejala depresi pada umumnya. Depresi pada lansia sering tidak terdeteksi sehingga penanganannya kerap terlambat. Ukuh menuturkan bahwa ada beberapa faktor menjadi penyebabnya, seperti stigma orang-orang sekitar terhadap kesehatan mental yang masih dianggap sepele. Stigma tersebut membuat lansia merasa malu dan segan untuk memeriksakan diri apakah ia mengalami depresi atau tidak karena sebagai orang tua ia diharapkan menjadi semakin bijak dan menjadi teladan bagi anak dan cucunya.
Ukuh memaparkan bahwa depresi terselubung bukan suatu diagnosis medis tetapi fenomena dalam psikis yang mengalami depresi dengan gejala tidak khas. Lansia yang mengalami depresi terselubung bisa saja tidak punya perasaan sedih yang menetap atau perubahan suasana hati yang ekstrem. Mereka, kata dia, lebih menunjukan gejala fisik yang sifatnya somatik, seperti keluhan nyeri otot dan perasaan tidak nyaman di perut. Namun, setelah diperiksa dan dievaluasi, gejala sakitnya tidak sesuai dengan keterangan yang disampaikan. Kondisinya cenderung baik-baik saja, bukan suatu gejala fisik yang perlu dikhawatirkan.
Lansia yang mengalami depresi terselubung, kata Ukuh, memang tampak baik-baik saja dan bahkan bisa terlihat berbahagia dan produktif atau tidak menunjukan gangguan psikis, misalnya dari pagi bisa menemani cucu, melakukan kegiatan bersih-bersih rumah, dan berkebun. Namun, dalam hatinya ia sebenarnya merasa tidak nyaman. Apabila depresi terselubung ini dibiarkan, semakin lama ia dapat mempengaruhi emosi, kesehatan fisik, dan pikiran. Jika semua itu bertumpuk, maka lansia tersebut bisa jadi tidak kuat menahan perasaan tidak nyaman tersebut.
Berdasarkan pengalaman Ukuh dalam menangani pasien lansia yang mengalami depresi terselubung, memang tidak mudah bagi anggota keluarga dan orang sekitar menyadari bahwa kaum sepuh ini tengah mengalami depresi. Nenek dan kakek cenderung menyembunyikan perasaannya dan cemas untuk mengakui bahwa secara psikologis mereka tidak baik-baik saja.
Ukuh meminta orang-orang di sekitarnya perlu lebih peka dalam memperhatikan perubahan perilaku kaum lansia ini. Misalnya, bila ia biasa mengobrol atau berkumpul dengan tetangga, tetapi akhir-akhir ini jadi lebih menutup diri. Jika ada perubahan perilaku seperti itu, Ukuh menyarankan agar keluarga menanyakan keluhan mereka dan membandingkan dengan kondisi sebelumnya untuk memastikan apakah memang ada perubahan atau penurunan kondisi. Perlu diketahui pula bahwa semakin tua lansia akan menjadi semakin sensitif. Untuk itu, saat bertanya tentang kondisi kesehatan dan perubahan sikapnya, ajaklah mengobrol santai dan dengarkan semua ceritanya tanpa membantah, menghakimi, atau memotong pembicaraan. Dengan begitu, mereka akan merasa nyaman dan mau terbuka jika ditawarkan untuk berkonsultasi dengan profesional.
Ukuh menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan lansia mengalami depresi terselubung, seperti faktor biologis, psikologis, dan sosial, dan ketiganya saling berkaitan. Secara biologis ada ketidakseimbangan zat kimia dalam otak yang biasanya terjadi pada lansia yang memiliki riwayat hipertensi, penyumbatan di otak, atau faktor genetik. Dari segi sosial, lingkungan sekitar yang berubah, seperti anak-anak yang sudah menikah dan tinggal jauh dengan orang tua, tempat tinggal yang kian padat penduduk, serta kebisingan, dapat menjadi pemicu. Secara psikologis, karakter, temperamen, dan pengalaman hidup lansia dapat menjadi penyebab depresi jika dibiarkan dalam waktu yang lama.
Selain ketiga faktor tersebut, keterasingan lansia dari orang- orang sekitar, seperti kehilangan pasangan, pensiun, pindah tempat tinggal, dan pembatasan mobilitas di masa pandemi COVID 19, juga dapat memicu depresi terselubung. Apalagi bila dulu mereka merupakan orang yang dulu memiliki pengaruh besar di lingkungan tempat tinggal atau punya jabatan di tempat kerja yang dapat memicu post power syndrome, kondisi hilangnya aktualisasi diri yang tinggi setelah pensiun. Tidak semua lansia siap menghadapi kenyataan seperti ini, sehingga keluarga perlu memberikan pemahaman kepada mereka dan mengajaknya untuk memulai lembaran baru dalam hidupnya.
Dalam menangani depresi terselubung pada lansia, Ukuh menyarankan agar mereka berkonsultasi dengan profesional agar dapat ditangani dengan baik. Namun, tidak semua orang mau secara terbuka berkonsultasi dengan profesional karena mereka memiliki persepsi sendiri terhadap kesehatan mental atau takut menerima kenyataan bahwa sebenarnya mereka tengah mengalami masalah psikologis.
Stigma dari orang-orang sekitarnya juga menambah keengganan lansia untuk pergi ke tenaga profesional. Ukuh menyarankan agar orang terdekatnya, apalagi sebagai anak, cucu, atau anggota keluarga terdekat, perlu membuat kaum sepuh ini merasa nyaman dan aman terlebih dahulu sebelum diperiksa ke profesional.
Selain mengobrol dan mendengarkan cerita mereka, kata Ukuh, bantulah mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Misalnya, bila mereka ingin jalan-jalan, maka luangkan waktu untuk pergi bersama mereka. Sembari memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka, ajaklah mereka untuk mengobrol lebih lanjut mengenai kondisi psikologis mereka yang mengalami perubahan. Tidak ada salahnya juga untuk memeriksakan mereka ke tenaga profesional agar dapat dideteksi sedini mungkin.
Kuncinya adalah kesabaran dari orang- orang sekitar karena ada lansia yang dapat dibujuk dengan cepat, tetapi ada juga yang butuh waktu lebih lama serta pendekatan lebih intim. (AR)