Salah satu masalah yang sering dialami anak-anak adalah konstipasi atau sembelit, ketika frekuensi dan konsistensi buang air besar (BAB) tidak normal, sulit mengeluarkan tinja, dan buang air yang disertai rasa nyeri. Tinja juga cenderung keras dan proses pengeluarannya tidak utuh atau komplet. Hal ini terjadi bila kondisi BAB tidak normal.
Syahminar Rahmani, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, menyebut beberapa indikasi BAB yang normal. “Pertama, saat BAB (anak) tidak mengejan berlebih. Kedua, tidak nyeri saat BAB. Ketiga, konsistensi feses cenderung lunak dan tidak keras,” katanya dalam Talkshow Keluarga Sehat di Radio Kesehatan pada 27 Juli lalu. Kondisi normal lain ditandai dengan BAB tidak berdarah, tidak ada episode cepirit atau BAB secara tidak sadar, dan tidak ada perubahan pada konsistensi BAB.
Setiap anak memiliki frekuensi BAB yang beragam. Umumnya, anak usia setahun dapat membuang air besar sebanyak 3-4 kali dalam sehari, usia 1-3 tahun sebanyak 1-2 kali dalam sehari, dan anak usia di atas tiga tahun dapat buang air besar satu kali dalam sehari.
Syahminar menjelaskan, penyebab sembelit pada anak terbagi dua, yaitu gangguan organik dan gangguan fungsional. Gangguan organik merupakan kelainan bawaan sejak lahir, seperti hipotiroid, gangguan susunan saraf tulang belakang, dan gangguan struktur pembentukan anus.
Namun, 95 persen sembelit pada anak disebabkan oleh gangguan fungsional. Ini terjadi karena anak memiliki riwayat trauma saat buang air besar. Biasanya anak mengalami BAB yang keras sehingga menyebabkan nyeri. Hal ini membuat anak merasa tidak nyaman dan memilih untuk menahan BAB selama mungkin, bahkan hingga 5-7 hari. Ketika anak mulai merasa mulas, tinja yang bertumpuk di dalam perut akan menjadi keras dan menimbulkan nyeri saat dikeluarkan.
Syahminar menilai gangguan fungsional ini merupakan lingkaran setan yang akan terus berulang. Ia harus diputus dengan menghilangkan traumanya. Apabila dibiarkan, tumpukan tinja yang besar dan proses pengeluaran yang sulit dapat menimbulkan luka di sekitar anus sehingga membuat anak mengalami nyeri setiap ingin BAB.
Untuk mendeteksi kondisi anak yang kemungkinan mengalami sembelit, Syahminar menyarankan untuk memperhatikan perilaku anak saat menahan BAB. “Kita bisa lihat dari caranya menahan BAB akibat nyeri, yaitu dengan kaki menjinjit. Kemudian kakinya disilangkan atau anaknya diam sembunyi di sudut ruangan. Jadi, itu sedang menahan buang air besar,” kata dia.
Ada tiga fase kehidupan pada anak yang berisiko mengalami konstipasi. Pertama, fase makanan pendamping air susu ibu (MPASI), yaitu saat anak mendapatkan perubahan bentuk makanan dari cair ke padat. Hal ini berkaitan dengan bentuk tinja anak, yang dulunya lunak kemudian menjadi keras. Anak cenderung menangis secara berlebihan saat mengeluarkan tinja yang keras. Maka dari itu, orang tua sangat berperan untuk memperhatikan asupan makanan yang diberikan pada fase ini.
Kedua, periode toilet training, yaitu saat anak mulai dibiasakan membuang hajat di toilet. Pada mulanya hal ini dapat membuat anak merasa tidak nyaman tapi hal ini dapat diantisipasi dengan membangun kebiasaan secara bertahap. Anak dapat diminta duduk selama 5-10 menit di toilet. Orang tua juga harus menyediakan pijakan untuk kaki anak sehingga posisi lutut anak menekuk dan telapak kakinya dalam posisi datar. Posisi ini perlu dilatih untuk mempermudah proses pengeluaran tinja. Apabila tinja sudah keluar, orang tua harus meminta anak menunggu selama 1-2 menit untuk memastikan tinja sudah keluar semua.
Fase ketiga adalah periode anak mulai masuk sekolah. Biasanya anak merasa malu jika ingin membuang hajat di sekolah. Di samping itu, terkadang anak merasa tidak nyaman dengan kondisi toilet sekolah sehingga memilih untuk menahan buang air sampai tiba di rumah.
Dalam menghadapi anak yang sembelit, Syahminar menyarankan orang tua agar tetap tenang. Orang tua harus meyakinkan anaknya untuk tetap bisa buang air besar secara perlahan sehingga anak tidak merasa stres dengan kondisinya. Orang tua juga harus memberikan cairan yang cukup dan asupan nutrisi yang seimbang, terutama buah dengan serat tinggi dan sayuran hijau. Jika diperlukan, orang tua dapat memijat perut anak secara perlahan. Apabila kondisi anak belum membaik juga, maka segera konsultasikan ke dokter untuk dievaluasi.
Umumnya dokter akan memberikan obat pencahar. Syahminar meyakinkan orang tua untuk tidak perlu ragu karena obat pencahar ini aman untuk anak. Obat yang akan berfungsi di area usus ini akan mengencerkan tinja sehingga anak dapat mengeluarkannya dengan mudah.
Syahminar mengingatkan bahwa obat ini akan digunakan dalam jangka panjang. Jika kondisi anak sudah membaik, orang tua tetap harus membawa anak untuk kontrol ke dokter. Dokter kemudian akan menyesuaikan dosis obat dengan kondisi anak.
Jangka waktu pengobatan pada setiap anak berbeda-beda. Ada yang setahun tapi juga ada yang dua tahun. Ini tergantung pada kepatuhan orang tua dalam mengikuti anjuran dokter. “Intinya, yang menjadi target adalah anak dapat mengeluarkan tinja sesuai yang diharapkan, misalnya sehari sekali atau dua kali sehari dengan konsistensi lunak,” ujar Syahminar.
Sembelit dapat dicegah dengan konsumsi makanan seimbang, pemberian cairan yang cukup untuk tubuh, dan aktivitas fisik yang rutin. Syahminar mengingatkan orang tua untuk telaten memperhatikan pola BAB anak supaya mengetahui kapan anaknya mengalami indikasi sembelit. Dengan meningkatkan kesadaran tentang sembelit pada anak, orang tua diharapkan dapat menjaga kesehatan usus anak dan mencegah masalah kesehatan yang lebih serius di kemudian hari. (NM)